Hak asuh anak

Hak asuh anak merupakan suatu kewajiban orang tua untuk memberikan pelayanan, melindungi, mendidik, dan mengasuh anak hingga dewasa, baik dalam masa ikatan perkawinan atau orang tua yang sudah cerai atau putus perkawinan. Hak asuh anak ini telah diatur dalam Undang-Undang perlindungan anak No 23 tahun 2020 pasal 14, yang menyatakan bahwa “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.

Hak asuh anak terdiri dari hak asuh hukum, yaitu hak untuk mengambil keputusan tentang anak, dan hak asuh fisik, yaitu hak dan kewajiban untuk mengasuh anak. Hak asuh fisik akan menetapkan seorang anak tinggal di mana dan siapa yang memutuskan masalah sehari-hari mengenai anak tersebut. Jika orang tua memiliki hak asuh fisik atas seorang anak, maka rumah orang tua tersebut akan menjadi tempat tinggal resmi anak tersebut (domisili).[1]

Ketentuan kepada siapa hak asuh anak didapatkan sudah diatur dalam Putusan Nomor 55/Pdt.G/2012/Ms-Bna menyatakan hak asuh anak akan diberikan kepada ayah dan ibu, Putusan Nomor 65/Pdt.G/2011/MS-Bna dan 66/Pdt.G/2012/MS-Bna menyatakan hak asuh anak akan diberikan kepada ayah, dan Putusan Nomor 225/Pdt.G/2009/MS-BNA dan Nomor 261/Pdt.G/2010/MS-BNA menyatakan bahwa hak asuh anak akan diberikan kepada ibu.[2]

Hak asuh anak dalam Islam

Menurut buku Syekh Wahbah Az-Zuhai, al-Fiqh al-Islamu wa Adillatuhu, jilid 10 hal 7245, menyatakan bahwa terdapat 5 jenis hak penting yang harus didapatkan anak, yaitu hak persusuan, hak pengasuhan, hak nafkah, hak nasab, dan hak perwalian.

Dari kelima hak tersebut, yang paling relevan dan banyak persimpangan yaitu pada hak pengasuhan, karena banyak sekali kasus perceraian dalam pernikahan. Hal tersebut berdampak sekali terhadap pemeliharaan, pendidikan, pertumbuhan, dan pengasuhan terhadap anak. Dalam Islam, istilah pengasuhan kerap disebut dengan hadhanah. Tujuan dari adanya hadhanah tersebut yaitu untuk mengatur tanggung jawab anak yang berhubungan dengan pendidikan, kehidupan, dan pertumbuhan anak setelah orang tuanya berpisah atau bercerai. Jika dalam hal perceraian tersebut hingga membuat anak terlantar dan tidak mendapatkan pengasuhan, maka anak tersebut mendapatkan kezaliman oleh orang tuanya.

Dalam Islam dijelaskan bahwa ibu lebih berhak atas pengasuhan anaknya daripada ayah karena kasih sayang luas serta kesabaran yang lebih besar dalam menanggung beban yang menyangkut pendidikan dan pengasuhan. Kemudian ibu memiliki perlakuan lebih lembut dalam menjaga dan mengasuh serta lebih mampu mencurahkan perasaan kasih sayang.[3]

Syarat-syarat permohonan hak asuh.

Terdapat beberapa syarat dan prosedur yang harus dipenuhi ketika orang tua akan melakukan permohonan terhadap hak asuh anak, ke pengadilan negeri dan pengadilan agama. syarat yang di butuhkan, meliputi:[4]

  • surat pengajuan permohonan hak asuh ke pengadilan
  • Fotocopy akta cerai
  • Fotocopy akta anak
  • dan Biaya Perkara

Syarat-syarat penetapan hak asuh anak

Sama dengan halnya permohonan hak asuh anak, penetapan hak asuh anak juga memiliki beberapa syarat di antaranya :[5]

  • Akta dari orang tua asli
  • Surat rekomendasi dari dinas sosial
  • Pemohon harus sudah pernah mengasuh paling sedikit 6 bulan lamanya
  • KK dan KTP dari orang tua asli dan pemohon
  • SKCK pemohon
  • Surat keterangan sehat

Pembagian Hak asuh anak

Pembagian Hak asuh anak dalam perceraian tidak hanya bisa di dapatkan oleh ibu, meskipun biasanya banyak hak tersebut yang di dapatkan seorang ibu. jadi hak asuh anak juga tidak menutup kemungkinan akan di dapatkan seorang ayah, berikut faktor-faktor pembagian hak asuh anak:[6]

Hak asuh anak akan jatuh kepada seorang ibu jika anak tersebut masih dalam usia dini atau umurnya masih di bawah 12 tahun, atau anak tersebut belum Mumayyiz. maka hak asuh ini akan diserahkan kepada seorang ibu, kemudian yang kedua jika anak tersebut sudah berumur diatas 12 tahun atau sudah mumayyiz maka akan diserahkan kepada anak untuk memilih dengan siapa ia akan tinggal, antara ibu atau ayahnya untuk memegang hak penuh atas pemeliharaannya atau hak asuhnya.

Yang sekanjutnya, pembagian hak asuh anak akan jatuh kepada ayahnya jika kedua orang tua sudah membuat persetujuan bahwa anak diberikan kepada suami, keterangan dari saksi yang dapat memberatkan hak asuh anak didapat ibu, dan ibu tidak bertanggung jawab

Referensi

  1. ^ "What is Child Custody | ExpertLaw". www.expertlaw.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-21. Diakses tanggal 2021-06-15. 
  2. ^ Mansari, Mansari; Jauhari, Iman; Jauhari, Iman; Yahya, Azhari; Hidayana, Muhammad Irvan (2018-09-12). "HAK ASUH ANAK PASCA TERJADINYA PERCERAIAN ORANGTUA DALAM PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH SYA'IYAH BANDA ACEH". Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies. 4 (2): 103–124. doi:10.22373/equality.v4i2.4539. ISSN 2548-1959. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-07. Diakses tanggal 2021-06-15. 
  3. ^ "Mengenal Hak Pengasuhan Anak dalam Islam". islam.nu.or.id. 2021-03-25. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-27. Diakses tanggal 2021-06-15. 
  4. ^ "Memahami Syarat & Prosedur Hak Asuh Anak Setelah Perceraian". SONLAWYERS (dalam bahasa Inggris). 2018-12-18. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-16. Diakses tanggal 2021-06-15. 
  5. ^ "Syarat-Syarat Permohonan Hak Asuh Anak - Pengadilan Negeri Kediri". pn-kediri.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-10. Diakses tanggal 2021-06-15. 
  6. ^ "Hak Asuh Anak dalam Perceraian, Siapa yang Paling Berhak?". SehatQ. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-10. Diakses tanggal 2021-06-15.